Usai Tipi Bank Rp2.7T, Wanita Ini Malah Foya Foya Selama Sidang

Skandal Startup Frank Menggemparkan Wall Street: Charlie Javice Menipu JPMorgan US$175 Juta, Biaya Hukumnya Tembus Rp 1 Triliun!

Berita Utama: Vonis Penjara dan Skandal Pengeluaran Mewah

NEW YORK – Kisah jatuhnya founder startup Frank, Charlie Javice, kini memasuki babak baru yang lebih mengejutkan. Setelah dijatuhi hukuman penjara lebih dari tujuh tahun pada September atas penipuan yang merugikan JPMorgan Chase hingga US$175 juta (sekitar Rp 2,7 triliun), kini terungkap rincian pengeluaran hukumnya yang fantastis.

Dalam sidang terbaru, pengacara JPMorgan membeberkan bahwa Javice telah menggunakan dana yang wajib ditanggung bank—berdasarkan kontrak akuisisi—bukan hanya untuk membiayai lima firma hukum elite, tetapi juga untuk membayar upgrade kamar hotel mewah, makan malam berharga fantastis, hingga produk cellulite butter. Semua tagihan ini diklaimkan kepada JPMorgan, memanfaatkan celah dalam kontrak.

Biaya Pembelaan yang “Absurd” dan Memecahkan Rekor

Pengacara JPMorgan mengungkapkan total biaya pembelaan hukum Javice telah menembus angka US$60 juta (sekitar Rp 1 triliun). Angka ini dicap bank sebagai biaya yang “tidak masuk akal” dan “belum pernah terjadi sebelumnya.”

  • Melebihi Theranos: Biaya hukum Javice kini bahkan disebut melebihi pengeluaran hukum yang dialami oleh Elizabeth Holmes, pendiri Theranos yang juga divonis karena penipuan besar.

  • Blank Check dari Bank: Pihak bank menuduh Javice dan timnya memperlakukan keputusan pengadilan yang mewajibkan bank menanggung biaya hukum sebagai “cek kosong” (blank check), menagih segala hal tanpa batas.

  • Pasukan Pengacara Elite: Javice menyewa lima firma hukum sekaligus, membentuk “pasukan” 77 pengacara yang menagih bank untuk segala hal terkait kasus Frank, termasuk pembulatan jam kerja. Salah satu pengacara menagih hingga US$2.025 per jam, dengan beberapa di antaranya dikenal pernah membela tokoh kontroversial seperti Elon Musk dan Harvey Weinstein.

Celah Kontrak dan Kerugian Finansial JPMorgan

Skandal ini bermula pada tahun 2021 ketika JPMorgan mengakuisisi Frank, sebuah startup yang diklaim membantu jutaan mahasiswa Amerika Serikat dalam formulir bantuan dana pendidikan. Akuisisi senilai US$175 juta itu berubah menjadi bencana ketika bank menemukan bahwa mayoritas data pengguna yang disajikan Javice adalah palsu.

Meskipun Javice dinyatakan bersalah atas penipuan, ia sempat memenangkan putusan yang mewajibkan JPMorgan menanggung biaya hukumnya sebagai bagian dari kontrak akuisisi.

JPMorgan, yang total telah menyediakan sekitar US$115 juta untuk biaya hukum Javice dan mantan pejabat Frank lainnya, Olivier Amar, kini berjuang menghentikan kerugian. Bank khawatir biaya hukum ini bisa menyamai jumlah penipuan yang mereka alami. “Jika tidak dihentikan, biaya hukum mereka bisa sebesar jumlah penipuan yang mereka lakukan,” tulis JPMorgan.

Ironi “Gajah” di Ruangan (Bumbu Politik)

Kisah Javice ini menyoroti ironi yang lebih dalam di dunia keuangan Amerika Serikat. Hal ini merupakan sebuah isu yang sering menjadi komoditas politik panas:

  • Standar Ganda Too Big to Fail: Secara politis, kasus ini mencerminkan bagaimana lembaga keuangan raksasa (seperti JPMorgan). Dalam krisis, kini terlihat mudah diperdaya dan dieksploitasi oleh individu. Ini memicu pertanyaan di kalangan politisi progresif: Mengapa bank dengan sumber daya tak terbatas bisa tertipu dalam skala ini?

  • Regulasi dan Pengawasan Startup: Kasus ini dapat digunakan oleh legislator sebagai amunisi untuk mendorong regulasi yang lebih ketat. Evaluasi terhadap valuasi dan klaim startup teknologi, yang sering kali didorong oleh janji pertumbuhan yang tidak realistis. Kegagalan due diligence JPMorgan menjadi contoh sempurna kerentanan pasar.

  • Perang Kelas dalam Sistem Hukum: Penggunaan biaya hukum sebesar Rp 1 triliun oleh seorang founder yang terbukti menipu. Yang mampu menyewa pengacara bintang, memperlihatkan perbedaan akses terhadap keadilan di Amerika Serikat. Hal ini memperkuat narasi politik tentang sistem hukum yang cenderung menguntungkan elite berkantung tebal.

Tanggapan Javice: Pembelaan dan Klaim “Konyol”

Menanggapi tuduhan penggunaan dana untuk barang-barang pribadi seperti cellulite butter dan hotel mewah. Juru bicara Javice menepis klaim tersebut sebagai “konyol” dan tidak berdasar.

Juru bicara tersebut menegaskan bahwa Javice selalu mengikuti semua aturan internal JPMorgan selama menjadi karyawan dan selama proses hukum. “Sebagai karyawan, dia membeli es krim dan barang lain sesuai dengan kode etik JPMorgan,” katanya. Hal ini menambahkan bahwa Javice tidak pernah meminta penggantian biaya untuk hal-hal yang tidak secara eksplisit. Serta diizinkan dalam pedoman yang diberikan kepadanya.

kadobet

priscillaband.com

kadobet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*